Thursday, April 21, 2022

Hati-Hati di Jalan

Sudah setengah jam aku duduk di food court ini. Tangan kananku masih terus mengaduk matcha latte yang telah kupesan. Rasanya kurang sesuai dengan ekspektasiku. Terlalu manis. Aku suka matcha yang agak pahit. Biar sama dengan hidupku.

Mall ini sepi. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Makanya aku suka. Menurutku, tempat yang ramai itu mengerikan. Membuat kepalaku sakit dan perutku mual. Tempat sepi sangat menyenangkan. Aku bisa fokus bercengkerama dengan pikiranku, atau fokus berbincang jika ada temanku.

Seorang pria berkemeja hitam menghampiriku. Diletakkannya ponsel dan tasnya di atas meja. Kemudian dia duduk di sampingku. Tangan kanannya menyentuh kepalaku. Diusapnya beberapa kali. Tampak kekhawatiran pada raut wajahnya.

"Are you okay?" tanyanya.

"As you can see," jawabku.

"Kamu nggak nangis, kan?" 

"Nggak sama sekali. Justru aku bingung, kenapa aku nggak nangis, ya? Aku sedih dan kecewa. Tapi hatiku rasanya... hampa."

"Ah, I see."

Dia Delvin, sahabatku. Kami sangat dekat. Saat aku senang atau sedih, dia adalah orang pertama yang akan kuingat.

Sama halnya dengan hari ini. Pukul 11 pagi aku putus dengan Yudhi. Delvin adalah orang pertama yang kukabari. Lalu dia mengajakku bertemu di sore hari.

"Kenapa ya dia jahat banget sama aku? Padahal aku nggak pernah jahat sama dia. Kenapa dia selingkuh? Aku kurang apa?" tanyaku sedih.

"Heh, goblok! Kamu nyadar nggak sih kalau kamu tuh cakep, pinter, dan financially stable?"

"Nyadar."

"Ya udah, don't settle for less when you deserve the best! Dia tuh nggak bersyukur punya kamu yang bisa nerima dia di segala kondisi. Kamu selalu jadi pendengar yang baik dan kamu selalu ada pas dia butuh bantuan. Sedangkan kamu nggak pernah nyusahin dia. Aku nggak mau lagi denger kamu nanya kekuranganmu apa, karena menurutku nggak ada."

Aku hanya diam. Sama seperti orang yang jatuh cinta, orang yang patah hati juga susah dinasihati. Aku masih ingin tahu, aku kurang apa sampai Yudhi tega menduakanku. Apa aku memang pantas diperlakukan seperti ini?

"Sekarang aku tanya, kamu lega nggak sih tiap kali curhat sama dia?"

"Nggak. He is not a good listener."

"Okay. Are you sure you want to spend the rest of your life with him?"

"Nggak. Banyak yang bikin aku ragu. Dia juga ragu."

"Ya terus?"

"Aku cuma sedih aja. Kenapa harus berakhir dengan cara kayak gini? He knew I hate a cheater."

"Tahu nggak, sebenarnya kamu lagi dipermudah sama Tuhan. Bayangin kalau dia nggak selingkuh. Apa kamu tega ninggalin dia? Apa kamu tega memohon supaya dia berubah jadi lebih baik? Pasti enggak, karena kamu people pleaser. Kamu nggak enakan buat ngelakuin itu semua. Kemudian kamu bakal mau-mau aja hidup bareng dia selamanya, dengan nerima dia apa adanya. Aku ngebayanginnya aja nggak tega."

Benar. Perlahan aku mulai sadar. Apa yang dikatakan Delvin, semuanya benar.

"Aku boleh kasih saran?" tanyanya sambil meneguk minumanku.

"Boleh."

"Learn to love yourself first. You are pretty, worthy, and you deserve all the good things in this world. It's okay to be sad, but please, don't let sadness control your life. You have supportive family and you have me, a best friend. You have shoulders to lean on. You are not alone."

Air mataku mengalir. Aku bukan menangisi hubunganku yang kandas. Aku menangis karena aku sadar bahwa aku tidak seharusnya jahat ke diri sendiri, sampai merasa tidak pantas untuk dicintai.

Tuhan baik hati. Diberinya aku petunjuk bahwa dia bukan orang yang tepat untukku. Lebih baik patah hati sekarang, daripada patah hati saat dalam ikatan pernikahan.

Seketika, rasa hampa itu berubah menjadi rasa lega.

***

Perpisahan tidak selamanya menyedihkan.

Beberapa justru melegakan.

Teruntuk kamu yang tangannya pernah kugenggam, hati-hati di jalan.

Semoga perjalanan kita sama-sama menyenangkan, walau arahnya berlawanan.